Koruptor tidak memenuhi definisi sehat WHO?
Kita selalu terkaget-kaget ketika Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) akan melakukan konferensi pers, siapa lagi yang akan diumumkan menjadi saksi atau tersangka korupsi. Pandemi COVID-19 tidak membuat para koruptor berhenti untuk mengambil uang rakyat. Bahkan sebaliknya, hak masyarakat tetap diambil untuk kepentingan individu atau kelompoknya. Kasus korupsi di Kementerian Sosial yang sudah berulang kali terjadi menunjukkan uang atau bingkisan yang harusnya diterima rakyat diselewengkan sehingga rakyat tidak menerima yang seharusnya. Kepercayaan rakyat dan negara untuk memberikan amanah kepada orang yang terpilih malah dimanfaatkan untuk memperkaya diri dan menumpuk harta.
Apa yang salah?
Kenapa tidak ada efek jera agar orang bisa belajar bahwa korupsi adalah perbuatan yang akan menyengsarakan orang banyak? Karena memang faktanya, bahkan lucunya, ada saja yang memberikan pembenaran kepada para koruptor tersebut. Apalagi ada istilah bahwa sang koruptor tersebut seolah-olah dikorbankan. Namun faktanya, terus saja ada berita pejabat negara mulai dari Menteri, Gubernur, Bupati, kepala dinas, anggota dewan, dan pejabat lain yang tertangkap karena korupsi.
Pertanyaannya, apakah para koruptor ini sehat?
Secara fisik mungkin para koruptor ini sehat, walau kadang kala bisa saja penyakitnya kambuh setelah ditahan. Akan tetapi, belum tentu secara jiwa dan sosial para koruptor ini sehat. Menurut World Health Organization (WHO), definisi sehat adalah “a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”. Bila diterjemahkan secara bebas berarti sehat adalah kondisi sejahtera dalam aspek fisik, mental, dan sosial yang bukan saja tidak ada penyakit atau kelemahan. Jadi kalau kita lihat dari definisi sehat WHO tadi, para koruptor adalah orang tidak sehat jiwanya. Kalau orang yang sehat dan bersih jiwanya, tentu tidak ada keinginan untuk menerima uang yang bukan haknya. Selain itu, secara sosial para koruptor bisa dikategorikan sebagai orang anti sosial karena telah melakukan tindakan yang melanggar hukum. Dalam ilmu psikologi pun ditemukan bahwa kepribadian narsistik serta anti sosial kerap kali berhubungan dengan perilaku korupsi.
Saya tidak akan membahas lebih lanjut tentang hukuman dan perlakuan hukum yang setimpal terhadap para koruptor. Tetapi, saya melihat bahwa efek jera yang timbul sehingga orang tidak mengulangi korupsi atau tidak mengikuti orang untuk korupsi kurang kuat. Pengalaman saya menjadi dokter menghadapi pasien yang merokok, biasanya para perokok baru kapok untuk tidak merokok kalau sudah mengalami kanker atau stroke. Edukasi mengenai dampak rokok sepertinya hanya cerita yang sudah dimengerti tetapi sulit untuk diamalkan. Akan tetapi, ketika sudah terjadi stroke atau kanker, baru perokok kapok dan berhenti merokok. Nah ini yang memang susah untuk menimbulkan efek jera dari para koruptor. Wacana untuk mengirim para koruptor ke Nusakambangan hanya tetap wacana. Sebagian dari mereka dipenjarakan dengan kondisi cuaca yang sejuk seperti di LP Sukamiskin Bandung. Bahkan mereka dikumpulkan dengan para koruptor lain jadi seperti bertemu dengan teman-teman lama, teman-teman seperjuangan dulu. Selain itu, sebagian dari mereka akan mendapat remisi, dan kembali hidup mewah setelah keluar dari penjara. Kondisi ini jelas membuat para koruptor dan calon koruptor tidak akan pernah takut menjadi narapidana korupsi. Para koruptor yang umumnya berpendidikan tinggi, sangat paham bahwa korupsi yang dilakukan akan menimbulkan cost menjadi meningkat di masyarakat. Korupsi akan menyebabkan public goods seperti keselamatan masyarakat, layanan sosial, dan pembangunan infrastruktur menjadi terganggu.
Kembali ke definisi sehat WHO tadi, sehat tetap harus sehat secara fisik, mental dan sosial. Koruptor adalah orang-orang yang tidak bisa mengendalikan jiwanya, melanggar aturan dan kadang kala di awal saat ditangkap, para pelaku korupsi melakukan penyangkalan atas tindakan korupsi yang telah dilakukan. Padahal mereka sudah menikmati hasil korupsi tersebut baik secara sadar maupun tidak sadar. Dari sudut pandang kejiwaan pasti ada yang tidak beres ketika seseorang melakukan korupsi karena telah melanggar aturan yang telah ada. Kalau jiwanya sehat, para koruptor ini akan berpikir dua kali untuk melakukan tindakan korupsi. Namun, adanya dugaan jiwa yang tidak sehat pada para koruptor bukan berarti para koruptor ini dapat terbebas dari hukum pidana
Dari sudut sehat secara sosial, interaksi sosial yang dibangun oleh para koruptor sebenarnya merupakan suatu pengkhianatan. Mereka bahkan kadang-kadang mempertontonkan aksi anti korupsi padahal yang dilakukan malah sebaliknya. Jadi sebenarnya para koruptor ini juga tidak sehat secara sosial. Hanya saja, para koruptor kerap kali melakukan penyangkalan telah melakukan tindakan korupsi dan kadang kala meyakini bahwa yang dilakukan itu tidak salah. Kalau ini dinilai beda oleh orang lain, mereka yang melakukan penyangkalan bisa dianggap sudah mengalami gangguan kepribadian.
Jadi ketika seseorang melakukan tindakan korupsi dan selanjutnya menjadi terpidana korupsi, sebenarnya mereka bisa disebut tidak sehat secara kriteria WHO. Mudah-mudahan para koruptor setelah menjalani tahanan akan menyadari adanya masalah kesehatan jiwa dan kesehatan sosial pada dirinya. Kita berharap para narapidana korupsi ini segera dapat memperbaiki diri dan kembali bisa sehat yang lengkap seperti definisi sehat WHO yaitu sehat fisik, mental dan sosial dan tidak mengulang untuk melakukan korupsi kembali.
Salam sehat,
Ari Fahrial Syam
Akademisi dan Praktisi klinis
Tulisan ini masuk OPINI KORAN BISNIS Maret 2021